Horang Kayah

Tuhan menciptakan alam semesta ini secara seimbang. Tak ada sesuatupun yang tidak seimbang. Dan tidak ada yang sia-sia, bahkan hal positif dan negatif pun diciptakan untuk keseimbangan. Tapi jika kita merasa hidup ini berat sebelah, maka perlu dipertanyakan pada diri kita sendiri, jangan-jangan kita sendiri yang membuatnya tidak seimbang.

Jika kita hanya menggunakan otak kiri, maka itu tidak seimbang. Begitu juga jika kita hanya mengandalkan otak kanan, itu tidak seimbang, karena otak kanan dan kiri sama-sama ciptaan Tuhan yang bermanfaat.

Jika kita terlalu sering berpikir negatif, maka hidup tak akan seimbang. Oleh karena itu kita harus menyeimbangkan diri dengan memulai sikap positif yaitu prasangka baik pada Tuhan.

Seimbang bukan berarti kita harus menyeimbangkan antara maksiat dan ibadah, karena jika sudah bicara urusan akhirat, maka hal positif harus lebih besar daripada negatif.

Tetapi yang namanya hal negatif tak akan pernah bisa lenyap dari muka bumi, dan kita hanya bisa menguranginya tapi tak bisa melenyapkannya. Hanya saja, tanpa disadari mungkin selama ini kita lebih condong hidup di sisi negatif bahkan seimbang dengan positif saja belum. Tapi belum apa-apa sudah merasa positif, merasa dosa hanya sedikit, hingga akhirnya protes ketika masalah tak kunjung usai, merasa Tuhan tidak adil, karena merasa sudah berbuat banyak kebaikan, merasa tidak melakukan dosa besar, tapi tidak introspeksi pada hal-hal kecil yang justru sering luput dan dianggap biasa saja.

So, mari kita mulai dengan mengecek keseimbangan dulu antara hal positif dan negatif dalam hidup kita, mana yang lebih besar saat ini? Kemudian setelah menyadari bahwa negatifnya ternyata lebih besar, lanjutkan dengan memperbesar positifnya agar lebih besar bobotnya dan memudahkan kita di kehidupan akhirat kelak.

Wallahualam

Lanjut Gan...
Horang Kayah

Salah satu sifat yang harus ditaklukkan untuk mencapai kesuksesan adalah "malas". Ternyata sifat ini terkadang bergerak dalam "invisible mode", sehingga orang jadi tak sadar bahwa dia menjadi pemalas.

Hal ini saya sadari belum lama. Ketika saya merenung kok kenapa belum ada perubahan signifikan dalam beberapa cita-cita yang ingin saya capai. Ternyata bukan karena caranya yang salah, juga bukan karena soal "belum waktunya", tapi karena ada rasa malas yang tersembunyi yang saya sendiri tidak menyadarinya selama ini, sehingga menghambat saya dalam take action dalam meraih cita-cita.

Salah satu indikasinya adalah seringnya muncul ucapan, "Ah ribet...ah susah..." ketika mempelajari atau melakukan sesuatu. Intinya tidak mau repot, dan tidak mau repot berarti inginnya serba mudah. Well, siapa sih yang tidak ingin kemudahan?

Tapi kita juga sering terperangkap dengan definisi kemudahan yang diartikan nyaris tanpa usaha, atau terjadi begitu saja tanpa usaha. Kalau menurut saya sih, semua juga butuh usaha. Doa saja sudah termasuk usaha kok. Dan yang namanya kemudahan justru akan datang pada saat kita mau menempuh kesulitan. Karena ketika kita mau dan mampu menikmati sesuatu yang sulit itu, maka segalanya akan terasa mudah.

Dulu saya menganggap programming HTML itu ribet dan susah. Tapi ketika "dipaksa keadaan" untuk serius mempelajarinya, ternyata lumayan bisa juga ya hehehe...

Dan saat ini saya sedang menantang diri untuk melakukan sesuatu yang sejak dulu saya anggap ribet dan susah. Tapi ketika mulai dipelajari sungguh-sungguh, ternyata asyik juga. Well, berarti selama ini saya cuma terlalu malas untuk berusaha saja, karena masih punya mental instan, maunya serba cepat dan mudah, alias malas. Tapi saya lupa bahwa kesulitan bisa mendatangkan kemudahan ketika dijalani. Pantas saja ajaran agama mengatakan "Bersama kesulitan ada kemudahan" :)

Lanjut Gan...
Horang Kayah

Secara umum, dalam aspek kehidupan, ada dua hal yang menjadi sifat manusia:
- Mengejar kesenangan
- Menghindari penderitaan

Akan tetapi, kita hidup di dunia dualisme, dunia yang diciptakan Tuhan secara seimbang. Ada panas dan dingin, ada gelap dan terang, ada pendek dan panjang, berat dan ringan, dll...yang semua itu diciptakan untuk keseimbangan. Tidak ada kesia-siaan dari segala sesuatu yang diciptakan Tuhan.

Jadi jelaslah bahwa di dunia ini selalu ada dua sisi yang saling melengkapi. Tentu saja kita menginginkan kebahagiaan tapi kita tak bisa menampik ada sisi lain kehidupan berupa titipan masalah, baik itu berupa azab yang diakibatkan oleh perbuatan kita sendiri, maupun yang merupakan ujian dari-Nya. Perbedaannya sangat tipis, karena azab diturunkan pada orang yang berlebihan, sedangkan ujian diberikan pada orang yang akan dilebihkan.

Yang menjadi penentu berat ringannya beban suatu masalah adalah pemaknaan yang kita berikan terhadap masalah tersebut, apakah kita mau berfokus pada sisi negatifnya, atau sisi positifnya. Karena dalam musibah setragis apapun akan tetap ada sisi positif yang bisa diambil. Ketika dapat masalah, kita tak bisa menyangkalnya sebagai ilusi atau sesuatu yang tidak nyata, karena masalah itu memang ada. Tapi juga jangan menampik sisi baik yang pernah dan selalu kita terima. Jangan sampai berfokus pada sisi penderitaannya saja sehingga lupa pada nikmat-nikmat yang telah diberikan Tuhan. Karena seberat apapun penderitaan seseorang, pasti dia juga pernah merasakan kebahagiaan, dan akan selalu bisa kembali menikmati kebahagiaan jika dia menyadari dan memutuskan untuk mensyukuri semua nikmat yang ada dan akan selalu diterima.

Seberapa baik kemampuan pemaknaan terhadap masalah akan ditentukan oleh seberapa tinggi level kesadaran seseorang. Namun ini bukan berarti seseorang yang sudah punya tingkat kesadaran tinggi lantas tak akan pernah marah ketika melihat ketidakadilan, atau tak akan menangis ketika kehilangan orang-orang yang dia sayangi, atau tak akan takut ketika menghadapi suatu ancaman. Karena sedih, marah, takut, dan berbagai macam perasaan lainya pun adalah ciptaan Tuhan, dan segala sesuatu yang diciptakan Tuhan sama sekali tidak sia-sia. Yang membedakan mereka dari orang awam adalah kemampuan untuk ikhlas menerima kehadiran perasaan-perasaan apapun yang ada, tapi tidak berlama-lama diam di sana, dan memutuskan untuk berbaik sangka pada Tuhan serta menempuh solusi yang sesuai dengan petunjuk-Nya.

Ketika menghadapi masalah yang berlangsung lama dan seolah tak ada akhirnya, banyak orang yang berkata saya sudah berusaha, berdoa, berpikir positif, berfokus pada hal positif, tapi kenapa masalah tak kunjung selesai juga?

Well, banyak faktor penyebab yang tak bisa disebutkan satu per satu, karena tak akan ada akibat jika tak ada sebab. Tapi juga perlu kita sadari bahwa tak ada masalah yang tak ada jalan penyelesaiannya. Tuhan sudah menyediakan banyak jalan menuju solusi, tinggal kitanya mau atau tidak menjalani. Jadi ketika kita ingin hasil/akibat yang baik, maka ciptakanlah sebab yang baik. Minimal dengan berpikir baik, berkata baik, dan bertindak baik. Tak akan ada kebaikan yang sia-sia, karena barangsiapa melakukan kebaikan meski hanya sebesar biji dzarrah pun, maka dia akan melihat balasannya. Demikian pula sebaliknya.

Maka ketika menghadapi masalah, kita hanya perlu berdamai dengan masalah itu dengan cara menyambutnya dan tidak perlu menolak apalagi menghindarinya, karena ketika kita membiasakan diri lari dari masalah maka kita tak akan pernah mampu menyelesaikan masalah. Ujung-ujungnya jadi orang yang mudah depresi bahkan bunuh diri.

Ingin masalah cepat selesai? Tentu saja itu keinginan yang wajar, apalagi jika masalah tersebut sudah berlangsung terlalu lama. Tetapi kita akan lebih mudah melihat petunjuk disaat kita sudah membuka diri untuk berdamai dengan masalah itu sendiri dengan cara menyadari makna dari masalah tersebut, mengubah sudut pandang tentang masalah itu, dan bergantung pada kekuatan-Nya untuk penyelesaiannya.

Pikiran optimis tak akan seketika mengubah keadaan, tapi akan mengubah persepsi kita dalam menghadapi keadaan. Dan itu sudah modal besar yang harus disyukuri. Apalagi mengubah perspektif jauh lebih mudah daripada mengubah kenyataan, karena ketika perspektif berubah, kenyataan pun akan mengikuti. Kita akan melihat apa yang kita percayai, bukan percaya setelah melihat bukti. Hidup yang masih begitu-begitu saja adalah refleksi dari apa yang kita yakini meski tanpa disadari.

Secara kasat mata, pertolongan Tuhan memang tidak selalu tampak datang seketika, tetapi ketika diturunkan rasa optimis dan ketenangan ke dalam hati kita, maka itu sudah sangat tak ternilai harganya. Dan berawal dari ketenanganlah semua petunjuk akan mulai terlihat nyata.

Ketika kita mengatakan saya sudah berdoa, sudah berusaha, sudah lakukan ini itu, tapi kok masih begini-begini saja...maka kita belum memasuki level kesadaran penuh, baru sekedar tahap kesadaran untuk "mencoba" agar melihat hasilnya. Sedangkan perintah Tuhan bukan untuk dicoba-coba, tapi untuk dijalankan. Dan dijalankannya pun bukan hanya sekedar untuk meraih solusi tapi juga untuk menggapai ridho Ilahi. Karena itulah hasilnya lebih mudah kelihatan ketika kita mampu melepaskan keterikatan pada hasil yang diinginkan, karena kita berserah pada Tuhan yang lebih tahu apa yang kita butuhkan.

There is no try, only do.
(Mr.Miyagi in Karate Kid Movie)


Punya pengetahuan tentang kesadaran saja tidak cukup jika tidak pernah dipraktekkan. Tapi jika dipraktekkan kemudian berhenti dalam beberapa hari karena belum terlihat adanya solusi, maka itu adalah indikasi dari Mental instan. Segala sesuatu ada prosesnya, mie instan yang berlabel instan saja harus direbus dulu supaya bisa dimakan. Minimal dibuka dulu plastiknya kalau mau dimakan tanpa direbus :)

Tahu saja tidak cukup, kita harus aplikasikan. Tekad saja tidak cukup, kita harus lakukan tindakan.

Untuk mencapai kesadaran yang dipraktekkan, yaitu ikhtiar yang dilakukan dengan ikhlas dan penuh kesadaran tertinggi yaitu kesadaran bahwa kita berTuhan, orang akan menempuh pengalaman dan waktu yang berbeda-beda. Tapi InsyaAllah akan tercapai ketika kita meniatkan dan melakukan upaya untuk mencapainya. Karena ketika kita sadar, maka kita sudah naik tingkat. Ketika kita sudah naik tingkat, maka semakin besar kesiapan yang kita miliki untuk menerima solusi. Solusi akan hadir ketika kita sudah siap untuk menerimanya. Tapi ketika kita masih senang berkeluh kesah, maka itu adalah indikasi bahwa kita belum siap untuk menerima solusi. Jadi, ketika kita belum melihat solusi, sadari dulu bahwa jika masalah tidak membuat kita mati, maka masalah akan membuat kita bertambah kuat dalam menjalani hidup ini. Kata kuncinya adalah "ikhlas menjalani" kenyataan yang terjadi, lakukan 100% tawakkal dan 100% ikhtiar untuk menggapai ridho Ilahi, lalu nantikan hadirnya solusi.

Knowing the truth is nothing
Awareness of the truth is something
Living the truth is everything...
(Steven Fu)


So, sambut dan jalani saja dulu masalahnya, dan jangan bosan bertanya pada Tuhan tentang apa yang harus kita lakukan. Karena Tuhan tak pernah bosan memberikan jawaban asalkan kita peka membaca petunjuk-Nya yang akan Ia munculkan terus berulang-ulang hingga kita menyadarinya.

Mohon maaf jika ada yang tidak berkenan. Tulisan ini juga nasehat untuk diri saya sendiri :)

Wallahualam

Wassalam
Goen

Lanjut Gan...
Horang Kayah

Suatu sore saya berkumpul dengan beberapa sahabat, ngobrol ngalor ngidul, dan akhirnya entah bagaimana awalnya topik pembicaraan jadi beralih ke masalah hutang piutang. Dua dari 5 orang yang hadir di sana mengungkapkan kekesalannya karena punya piutang yang belum dibayar juga, padahal sudah terlalu lama, nagihnya susah banget kata mereka.

Kemudian, saya memberikan pendapat dengan mengutip sebuah hadits yang isinya kurang lebih mengatakan bahwa jika seseorang meminjamkan uang pada orang lain, maka orang tersebut akan mendapat pahala sedekah setiap hari hingga piutangnya dilunasi atau dilunaskan.

Baru saja saya menyelesaikan kalimat, tiba-tiba teman saya yang seorang lagi langsung menyambung dengan nada tinggi, "KALAU IKHLAS!!"

Saya tidak membalas, saya memilih diam dan merenung..."Sebegitu sulitkah untuk ikhlas? Apakah orang tidak suka dengan pahala sehingga lebih memilih piutang dibayar daripada diberi pahala sedekah?" pikir saya.

Sudah banyak bukti ketika seseorang mampu mengikhlaskan piutangnya dalam arti dibayar syukur, ga dibayar berarti akan dapat yang lebih baik, maka rejekinya malah datang dari tempat yang lain, karena orang-orang seperti itu tidak mengandalkan piutangnya sebagai satu-satunya jalan rejeki meskipun mereka sedang kepepet juga.

Tentu saja piutang boleh ditagih, tetapi menurut saya sebaiknya jangan jadikan piutang sebagai sandaran, karena itu berarti kita melimitasi rejeki yang bisa datang dari berbagai arah.

Ikhlas memang tidak semudah kata-kata, tetapi sebenarnya bukan ikhlasnya yang sulit melainkan sikap sulitlah yang membuat kita tidak bisa ikhlas. Dan jika kita merasa sulit ikhlas tetapi ingin bisa ikhlas, maka niatkanlah untuk bisa ikhlas, pasti Tuhan memberikan jalan agar kita bisa ikhlas dengan sebenar-benarnya ikhlas.

Semoga kita senantiasa menjadi hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Ikhlas pada saat sulit, tapi juga ikhlas untuk bahagia :)

Wallahualam

Lanjut Gan...
Horang Kayah

Saya baru sadar kalau sudah lama saya tidak menulis di blog ini. Ternyata saya lupa kalau saya punya blog :D

Yang mengingatkan saya untuk menulis kembali adalah sebuah buku bagus dari Kang Arul yang berjudul Writerpreneur. Di dalam buku itu disebutkan bahwa menulis adalah kemampuan yang membutuhkan maintenis...eh maintenance rutin. Karena seperti halnya skill yang lain, menulis pun adalah skill yang ketajamannya akan berkurang jika jarang diasah.

Tapi blog memang bukanlah satu-satunya tempat saya mengasah kemampuan menulis, karena saya juga kadang menulis di FB, dan baru-baru ini menyelesaikan sebuah naskah yang rencananya akan dibukukan. Ini juga salah satu hal yang membuat saya sibuk sehingga jarang menulis di blog.

Tadinya saya tidak mau menerbitkan buku apalagi buku bertema pengembangan diri. Bukan apa-apa, tanggungjawabnya berat, karena setiap kata yang ditulis mengemban beban moral, harus bisa saya buktikan dan saya jalankan sendiri, bukan sekedar omong doang. Saya pikir lebih baik menulis novel daripada buku pengembangan diri. Tapi atas dorongan beberapa temanlah saya berusaha mendobrak rasa ketidaknyamanan untuk menerbitkan buku.

Sebenarnya saya sudah menerbitkan buku dalam format ebook yang bisa dibeli di http://power-within.com. Tetapi seorang sahabat yang juga seorang penulis menyarankan saya untuk menulis buku cetak, dan dia mengusulkan agar ebook saya diterbitkan dalam format buku cetak saja. Tetapi saya memilih alternatif lain, ebook saya akan tetap menjadi ebook dan tak akan pernah diterbitkan dalam versi cetak. Jadi saya memutuskan untuk menulis sesuatu yang berbeda untuk versi cetak, meskipun beberapa poin memang ada yang diambil dari beberapa bab dalam ebook Power Within, tetapi secara keseluruhan sangat berbeda.

Tadinya saya ragu karena merasa bukan siapa-siapa, jadi kenapa saya harus menerbitkan buku? Tapi saya diingatkan bahwa tak perlu menjadi seorang ustad atau motivator untuk menerbitkan buku, kalau memang ada dorongan untuk itu, just do it! So, saya beranikan diri untuk mengirimkannya ke sebuah penerbitan, dan saat ini tengah menunggu kabar apakah buku saya layak diterbitkan atau tidak. Kalau bisa diterbitkan ya syukur, kalau tidak...ya cari penerbit lain yang mau menerbitkan :)

Di sisi lain, menulis buku juga adalah salah satu action yang saya lakukan untuk mengukur seberapa besar pencapaian yang telah saya dapatkan dari tahun ke tahun. Karena saya tidak mau hidup datar-datar saja, harus ada peningkatan dari hari ke hari. Syukur-syukur jika buku saya bisa terbit dan menambah ramai khazanah perpustakaan di bumi Nusantara.

Selama ini sudah ratusan buku yang saya baca. Terkadang saya kecewa ketika membaca buku yang judulnya bombastis tapi isinya biasa-biasa saja. Tetapi ketika kelepasan menilai sebuah buku sebagai biasa-biasa atau bahkan jelek, maka saya harus cepat-cepat Istighfar, karena menilai sebuah buku sebagai jelek sama saja dengan tidak menghargai hasil kerja keras sipenulis. Dalam arti yang lebih ekstrim lagi adalah menghina dan melecehkan karyanya.

Nah, kalau sudah begini, maka pertanyaan yang harus saya ajukan pada diri sendiri adalah...Kalau begitu kamu bisa bikin buku yang lebih bagus gak? Jangan bisanya ngomong doang, ngomentarin karya orang dan mengatakannya jelek, memangnya kamu punya karya yang diterbitkan?

DZIIGG!! Itu pertanyaan yang menonjok. Karena kita memang lebih mudah berkomentar tapi belum tentu bisa melakukan. Seperti halnya lebih mudah jadi penonton daripada jadi pemain. Seorang penonton bisa saja menyebut "Go block!" pada seorang pemain bola yang gagal mencetak gol padahal peluang sangat terbuka, tapi apa si penonton pasti bisa melakukannya jika dia berada di posisi si pemain? Belum tentu Gan. Bahkan main bola saja belum tentu bisa :)

So, daripada hanya menjadi penonton, maka saya memutuskan ikut bermain, agar tahu apa yang dirasakan pemain. Mungkin nanti akan banyak dukungan, tapi juga akan ada komentar yang tidak menyenangkan, mungkin akan ada penilaian negatif, atau mungkin akan ada yang meremehkan. Ya sudahlah, itu resiko, yang penting saya sudah take action. Dan seperti sebuah ungkapan yang pernah saya dengar entah di mana, "Ketika kau sukses, akan banyak musuh dan teman-teman palsu. Meskipun demikian tetaplah sukses!"

So, mari kita take action untuk meraih hidup yang lebih baik, dan raihlah sukses itu sesuai definisi kesuksesan masing-masing :)

Take action miracle happen, no action nothing happen!
(Tung Desem Waringin)

Lanjut Gan...