Horang Kayah

Pertengahan tahun 2009, saya membaca sebuah artikel tentang seorang trainer ilmu pengembangan diri yang sudah makan asam garam kehidupan, ikut berbagai pelatihan dan mempraktekkan berbagai metode pengembangan diri sehingga dia menjadi trainer. Tetapi di puncak karirnya, dia bertemu dengan metode Sufi, dan menemukan kedamaian di sana, sehingga dia pun tanggalkan semua ilmu pengembangan diri yang pernah dia pelajari, karena menurutnya semua itu sudah tak diperlukan lagi setelah dia menemukan kedamaian yang sebenarnya dengan metode Sufi.

Sudah lebih dari satu tahun berlalu sejak saya mulai bangkit dari keterpurukan dan mempelajari berbagai metode pengembangan diri. Sekitar seminggu yang lalu saya dipertemukan dengan seorang guru kehidupan yang lain, yang membuat saya ngeh bahwa semua ilmu yang saya pelajari selama ini ternyata sudah ada di Al-Quran dan Hadits. Dan yang mengejutkan, saya menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan besar saya tentang kehidupan melalui ayat-ayat yang dipaparkan sang guru, yang selama ini tidak saya temukan melalui ilmu pengembangan diri yang saya pelajari.

Saya pun teringat kembali cerita sang trainer yang kini telah beralih haluan menjadi seorang penganut ajaran sufi. Mungkinkah ini sudah waktunya saya kembali pada ajaran-Nya? pikir saya. Karena kalau dipikir, selama ini banyak hal yang saya pelajari tapi tidak saya cari referensinya dalam kitab suci. Dengan kata lain, pencarian yang saya lakukan adalah pencarian keluar, bukan pencarian ke dalam.

Saya teringat pula bahwa di awal saya mempelajari ilmu pengembangan diri, seorang teman memperingatkan saya dengan keras, untuk tidak mencari ajaran di luar agama, karena semua solusi sudah ada dalam ajaran agama. Tetapi waktu itu jawaban saya adalah, "Semua orang punya cara yang berbeda-beda untuk memahami Sunatullah. So, kalau cara yang saya lakukan ini salah, Tuhan pasti akan membimbing saya untuk kembali ke jalan-Nya". Karena kenyataannya memang ada orang yang harus sesat dulu untuk kemudian menemukan pencerahan menuju jalan yang benar.

Tentu saja bukan berarti ilmu pengembangan diri itu salah atau sesat. Bahkan saya akui, saya baru ngeh dengan arti dari beberapa ayat Quran setelah mempelajari banyak ilmu pengembangan diri. So, menurut saya ilmu itu mirip dengan teknologi, bisa mendatangkan manfaat sekaligus mudharat, tergantung bagaimana cara kita memahami dan menggunakannya. Jadi berdasarkan pemahaman saya untuk sementara ini, tidak apa-apa mempelajari ilmu pengembangan diri, hypnosis, ilmu tentang kekuatan pikiran, Law of Attraction dll, selama semua itu bisa semakin meyakinkan kita akan kebesaran-Nya, dan membuat kita semakin dekat dengan-Nya, dan yang paling penting, tetap mencari referensinya dalam ajaran agama.

Akan tetapi jika ilmu tersebut malah menjauhkan kita dari-Nya, karena merasa mampu menciptakan keajaiban tanpa pertolongan Tuhan, merasa damai dengan metode di luar koridor agama, sehingga membuat kita tidak membutuhkan agama, wassalam deh :D

Orang yang spiritual belum tentu religius. Tapi seharusnya spiritual adalah bagian dari religi. So, kehati-hatian tetap dibutuhkan dalam berspiritual, jangan sampai metodenya menjebak kita menjadi sekular.

Saat ini, saya hanya menyiapkan diri untuk membaca petunjuk Tuhan, untuk mengetahui kemana saya harus melangkah selanjutnya. Tetapi walaupun misalnya suatu hari nanti terbukti bahwa ilmu-ilmu yang saya pelajari selama ini ternyata salah atau sesat, saya tak akan menyesali, justru saya akan mensyukuri, karena saya mendapat pengalaman berharga untuk kehidupan yang lebih baik. Salah adalah awal dari benar. Dan selama kita memohon petunjuk-Nya, Insya'Allah Tuhan akan membimbing kita ;)

Lanjut Gan...
Horang Kayah

Tipe seperti apakah anda? Orang yang senang berprasangka baik? Atau gemar berprasangka buruk? Sedikit-sedikit komentarnya negatif melulu seolah dirinya adalah yang paling benar dan seolah semua orang harus mendengarkan pendapatnya. Adakah orang seperti itu di lingkungan anda? Atau jangan-jangan anda sendiri yang seperti itu? Saya seperti itu gak ya? :)

Ketika melihat seorang wanita muda cantik, sekseh, berpakaian glamour dan bermobil mewah, apakah yang terlintas di pikiran anda? Terutama di kalangan para pria? Ngeres? Atau malah berkata, “Wah, pasti simpenan om-om nih…”

Ketika seorang yang anda benci naik pangkat dan jadi pimpinan, apakah yang anda pikirkan adalah… “Wah, pasti ga bakalan beres tuh ke sananya, lihat aja!”

Tahukah anda bahwa ketika anda berprasangka buruk terhadap sesuatu, sebenarnya anda malah memberikan power pada sesuatu tersebut? Sehingga makin menjadilah hal-hal yang anda prasangkakan.

Contoh kecil, ketika seseorang mau membeli laptop merek XXX, lalu ada temannya yang mencegah dengan mengatakan, “Jangan beli merek itu, XXX kan produk gagal, banyak errornya!” Maka ketika orang tersebut menerima dan memutuskan untuk mempercayai perkataan temannya, dia memberikan energi negatifnya pada merek XXX, sehingga semakin banyak orang yang mempercayai bahwa merek itu jelek, maka jangan heran kalau merek tersebut banyak yang error.

Contoh lain, sebuah dilema yang menyedihkan di negeri ini adalah banyaknya orang yang skeptis pada pemerintahan yang dilakukan oleh para pimpinan kita. Sehingga tidak heran banyak hujatan dan cacian yang menuding pemerintahan telah gagal. Menganggap pemerintah tidak becus, bahkan ada yang memvonis mereka pasti masuk neraka.

Sadarkah jika semua hujatan dan cacian itu malah memperbesar power negatif yang ada pada orang-orang yang kita hujat dan kita caci? Semakin anda benci pada seseorang, akan makin banyak hal-hal yang membuat anda makin benci lagi, dan yang rugi adalah anda sendiri.

Kita tidak bisa menuding seorang pelacur pasti masuk neraka, karena siapa tahu esok harinya dia bertobat sebenar-benarnya tobat dan menjalani kehidupan yang lebih mulia, sementara kita yang menghujatnya malah mungkin akan masuk neraka akibat berprasangka buruk dan merasa lebih suci darinya.

Dengan kata lain, kenapa kita buang-buang energi dengan menghujat, dan mengotori lisan dengan mencaci atau membicarakan keburukan? Kenapa kita tidak kita perbesar power positifnya saja dengan mendoakan kebaikan bagi mereka yang kita benci? Termasuk mendoakan pemerintah kita agar menjadi pemerintah yang amanah dan mendahulukan kepentingan rakyat.

Banyak orang yang bersusah payah berusaha mengubah dunia luar, padahal sebenarnya yang terlebih dahulu harus diperbaiki adalah diri mereka sendiri, karena dunia luar adalah refleksi dari dunia dalam diri.

Perubahan harus dimulai dari diri sendiri, karena energi bersifat menular. Bukankah lebih menyenangkan jika kita bisa menularkan energi positif ke sekeliling kita? Bukankah lebih menyenangkan jika dunia ini dipenuhi dengan cinta?

Cukup 100 orang positif saja yang dibutuhkan untuk mempengaruhi 1 juta manusia agar mengubah sikap mereka. Jika jumlah keseluruhan penduduk dunia saat ini sekitar 6 miliar orang, maka hanya dibutuhkan sekitar 8000 orang positif saja untuk mempengaruhi dunia. Apakah kita termasuk di antara mereka?

“Ah, mana bisa! Itu cuma khayalan! Ngemeng doang!” begitulah kata seseorang yang menolak untuk melakukan perubahan dan lebih suka berkutat dengan kesusahan. Ya terserah…saya kan hanya…ah sudahlah…:)

Tanamkan cinta, bukan prasangka. Balaslah segala bentuk kebencian dengan cinta, sebarkan cinta pada siapa saja ke seluruh alam semesta. Walaupun tak akan bisa membuat dunia ini abadi selamanya, kita sudah melakukan yang terbaik untuk dunia, dengan berbagi energi cinta.

Hanya pendapat seorang rakyat biasa :)

Lanjut Gan...
Horang Kayah

Belakangan ini saya mulai disibukkan oleh beberapa kegiatan sehingga nyaris tak ada waktu untuk menulis, padahal saya suka sekali menulis. Karena menulis bagi saya adalah salah satu bentuk terapi yang dikenal dengan writing therapy.

Baru-baru ini saya mengikuti pelatihan Pembicara Bercahaya di Bogor yang dipandu oleh Kang Zen. Dan saya sangat bersyukur bisa mengikuti pelatihan yang sudah saya rencanakan sejak tahun lalu itu, karena ternyata pelatihan tersebut tidak semata-mata membahas tentang bagaimana menjadi pembicara yang berkarakter, tapi lebih dari itu, banyak nasehat-nasehat agama di dalamnya.

Salah satu nasehat yang saya dapatkan dari pelatihan itu adalah tentang rasa memiliki. Perasaan yang satu ini ternyata sering menjadi masalah untuk manusia, karena ketika apa yang kita miliki tak lagi kita miliki, maka yang terjadi adalah kita akan merasa resah, sedih, kecewa, terluka, bahkan mungkin marah atau depresi.

Apa yang anda rasakan ketika orang yang anda cintai pergi dari hidup anda? Entah itu karena dia meninggalkan anda demi orang lain, atau meninggalkan anda karena telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa? Apa yang anda rasakan ketika harta yang telah susah payah anda kumpulkan tiba-tiba lepas dari kepemilikan anda entah karena bencana, kebangkrutan usaha, ditipu orang dll?

Apa yang anda rasakan ketika anda tak berhasil meraih apa yang anda impikan?

Semua perasaan sedih kecewa dan teman-temannya itu terjadi akibat “rasa memiliki” atau “keinginan untuk memiliki”. Padahal jika kita sadari, pada hakikatnya kita tidak memiliki apapun. Harta, anak, istri, suami, dan segala sesuatu yang kita cintai hanyalah titipan Tuhan, tapi kita mengklaimnya sebagai milik kita, hasil jerih payah kita, hingga lupa siapa yang memberikan itu semua.

Kita memang boleh memiliki apapun yang kita inginkan, tapi kita pun harus mampu melepaskan rasa kemelekatan pada apa-apa yang kita dapatkan, karena pada hakikatnya semua hanyalah titipan yang dipercayakan Tuhan yang bisa diambil-Nya kapan-kapan ketika semua itu sudah sampai pada batas hak kepemilikan.

Bukan hal yang mudah untuk memahami bahwa semua yang kita miliki hanyalah titipan. Tapi seiring dengan meningkatnya kesadaran, perlahan kita akan menyadari bahwa semua itu bukanlah hal yang benar-benar kita butuhkan, karena sejak awal penciptaan hingga tibanya kematian, yang kita butuhkan hanyalah Tuhan.

Semoga kita mampu mencapai kesadaran untuk mensyukuri dan memanfaatkan sebaik-baiknya pemberian Tuhan tanpa rasa kemelekatan, agar kita selalu mendapatkan ketentraman tanpa rasa takut akan kehilangan.

Lanjut Gan...