Setelah 25 tahun lamanya, saya kembali menginjakkan kaki di kota gudeg Jogjakarta. Ini adalah perjalanan luar kota pertama sejak saya bergabung bersama Team Emotional Healing Indonesia. Jogja memang kota yang ramah, memberikan kesan mendalam terutama ketika kami makan lesehan di emperan jalan kota Malioboro di malam hari sambil bernyanyi bersama para musisi jalanan yang membawakan lagu Jogjakarta karya KLA Project.
Tetapi kota yang nyaman tersebut, ternyata menyimpan kesedihan dan penderitaan dari orang-orang yang selama ini bersikap nrimo tapi sebenarnya memendam beban emosi yang cukup dalam sehingga berakibat terhambatnya kemajuan hidup mereka. Dalam event Emotional Healing yang pertama kalinya diadakan di Jogjakarta Plaza Hotel, untuk pertama kalinya pula terjadi curhat terang-terangan dari beberapa peserta yang tidak sungkan menceritakan beban perasaan yang mereka pendam selama ini. Padahal terapi Emotional Healing tidak membutuhkan curhat dari para peserta, karena para peserta hanya dibimbing untuk menemukan akar masalah yang menghambat hidup mereka.
Tetapi curhat para peserta itu rupanya menguak kesadaran yang mengatakan bahwa, “Di atas yang menderita, masih ada yang jauh lebih menderita”. Kebanyakan orang menganggap permasalahan hidup yang mereka hadapi sebagai masalah terberat di dunia. Bahkan mereka cenderung mendramatisir keadaan, entah sebagai bentuk protes pada Tuhan, atau sekedar ingin cari perhatian agar mendapat belas kasihan. Maka lahirlah para drama queen dan drama king yang senang mengumbar keluhan ke sana-sini, mereka berusaha meyakinkan orang lain bahwa merekalah orang-orang paling menderita di dunia. Padahal penderitaan itu tak lebih dari permainan pikiran saja.
Harv T.Eker dalam bukunya Secret of Millionaire Mind mengibaratkan pikiran sebagai penulis skenario opera sabun terbesar dalam sejarah yang ceritanya kebanyakan seputar drama bencana atau penderitaan. Saya setuju dengan pendapat ini, dua orang yang memiliki masalah yang sama bisa menanggapinya dengan persepsi yang berbeda. Yang satu mungkin mengeluh dan larut dalam kesedihan, tapi yang satu lagi tetap tenang dan tidak menganggapnya sebagai batu sandungan.
Pepatah lama memang benar, ketika kita mengalami suatu masalah, maka cobalah bandingkan dengan orang-orang yang jauh lebih tidak beruntung dari kita. Atau lebih baik lagi jika kita bisa termotivasi ketika melihat atau mendengar cerita tentang seseorang yang kondisinya tak bisa kita bayangkan, tetapi mereka tetap mampu menjalani hidup dengan tegar. Berapa banyak kita mengetahui orang yang cacat tubuh tapi tetap bersemangat menjalani hidup? Berapa banyak kita menyaksikan orang yang hidup dalam garis kemiskinan tapi tetap mampu bahagia? Berapa banyak kita melihat dan mendengar orang sakit yang hidupnya divonis tak akan lama lagi tapi mereka optimis untuk tetap hidup?
Ketika kita mengalami suatu beban yang berat (menurut pikiran), seringkali kita lupa untuk bercermin pada orang-orang yang jauh lebih menderita. Dan yang lebih parah adalah lupa untuk berfokus pada solusi, yang dipikirkan malah masalahnya, dengan bertanya-tanya “Kenapa harus begini? Kenapa harus aku? Sampai kapan aku terus begini?” dan pertanyaan-pertanyaan negatif lain yang tidak mendukung pencapaian solusi.
Sudah seharusnyalah kita sadar bahwa semua masalah ada solusinya seperti halnya semua penyakit ada obatnya kecuali maut. Yang kita butuhkan adalah kesadaran bahwa masalah apapun pasti bisa terselesaikan, karena masalah dikirimkan selalu satu paket bersama solusinya. Jadi, ketimbang menjadi drama queen dan drama king yang berperan dalam opera sabun murahan yang membuat penonton bubar karena bosan dengan dialog-dialog bernada keluhan, bukankah lebih baik kita memutuskan untuk berbuat lebih banyak kebaikan yang mendukung pencapaian dari masa depan yang kita impikan?
Tapi bagaimana kalau kita tidak tahu apa yang harus dilakukan? Cukup awali dengan niatkan, dan mintalah petunjuk Tuhan, karena Dia akan mewujudkan selama hal tersebut adalah kebaikan.
0 Responses
Post a Comment
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
