Horang Kayah

Nasehat klasik yang sering diberikan pada orang yang sedang tertimpa musibah atau masalah, biasanya adalah, "Tabah ya, pasti ada hikmahnya..."

Ada juga yang menasehatkan, "Carilah hal yang bisa disyukuri dari masalah tersebut."

Tetapi, tidak semua orang mampu mencerna nasehat-nasehat bijak ini. Apalagi jika sedang dalam keadaan terdesak. Coba saja katakan "Masalah itu cuma ilusi," atau "Masalah itu cuma persepsi," pada seorang ibu atau ayah yang sedang panik karena butuh uang untuk biaya perawatan anaknya yang sedang sakit parah. Atau katakanlah itu pada orang-orang miskin yang kelaparan, bisa-bisa Anda diamuk massa :)

Meskipun demikian, Agama telah mengajarkan kita metode untuk menghadapi situasi sulit. Dan yang paling sering kita dengar adalah metode "Syukur".

Ya, metode syukur mengajari kita untuk tidak berfokus pada masalah, melainkan pada kenikmatan-kenikmatan lain yang tidak terbantahkan.

Dalam beberapa pelatihan pengembangan diri, sering saya menemukan tes pertanyaan bagi para peserta. Sang trainer memperlihatkan sebuah kertas yang putih bersih. Ketika ditanyakan pada peserta, "Ini apa?" Semua menjawab "Itu kertas". Tetapi ketika sang trainer menggambar titik di atas kertas tersebut dan bertanya lagi, "Ini apa?" Maka kebanyakan peserta menjawab "Titik hitam".

Padahal, ketika kita mampu membaca dengan pandangan yang lebih luas, maka jawaban kita pastilah tetap "Kertas putih", cuma kali ini ada titik hitamnya.

Yup, dalam kehidupanpun kita seringkali berfokus pada setitik penderitaan di atas luasnya hamparan kasih sayang Tuhan.

Ketika seseorang mengeluhkan bagian tubuhnya yang sakit, dia lupa bahwa masih banyak anggota tubuh lainnya yang masih sehat.

Ketika seseorang mengeluhkan tentang kekurangan uang, dia lupa bahwa sebenarnya banyak hal yang dia miliki yang uangpun tak akan bisa membelinya.

Ketika seseorang merasa kesepian karena butuh kasih sayang dan belum punya pasangan, dia lupa kalau dia punya orang tua, adik, kakak, dan sahabat-sahabat baik yang menyayanginya.

Ketika seseorang mengeluhkan pasangannya yang cerewet, dia jadi lupa bahwa dia masih jauh lebih beruntung dibandingkan mereka yang bertahun-tahun berdoa siang malam minta diberikan pasangan hidup.

Ketika seseorang mengeluhkan kecilnya gaji di perusahaan tempat dia bekerja, dia lupa bahwa dia masih punya penghasilan, sedangkan di luar sana masih banyak para sarjana yang sangat mendambakan pekerjaan, bahkan ada yang terpaksa jadi kuli daripada tidak bekerja sama sekali.

Bukannya mensyukuri, kebanyakan orang malah memperbesar keluhannya. Walhasil, tidak tercukupi pula kebutuhannya karena apa yang mereka fokuskan adalah penderitaan.

Rasa syukur tidak hanya berlaku bagi mereka yang sedang diuji dengan kesenangan, tetapi juga tetap berlaku bagi mereka yang sedang ditimpa musibah atau kemalangan.

Ketika kita mampu bersyukur di tengah masalah dan berfokus pada kenikmatan lain yang telah dan sedang kita miliki, maka Insya'Allah akan lebih besar lagi rasa syukur kita ketika kesenangan tiba, karena kita sudah terlatih untuk selalu bersyukur dalam situasi sulit.

Setelah itu kita tinggal mempertahankannya supaya kita menjadi hamba-hamba-Nya yang selalu mampu bersyukur dalam situasi apapun, syukur yang benar-benar syukur dan bukan sekedar memaksakan diri bersyukur karena ada maunya saja, tapi ketika kesenangan tiba malah jadi lupa. Semoga kita terhindar dari rasa syukur yang terpaksa dan hanya sementara.

Wallahualam

0 Responses