Sebuah artikel dari seorang mentor saya membuat saya merasa mendapat tamparan keras di wajah. Betapa tidak, saya merasa tersindir dengan kalimat-kalimat dalam artikel tersebut, dimana dikatakan bahwa kita kebanyakan memakai topeng. Topeng tersebut bisa berupa topeng sok ikhlas, topeng sok spiritual, topeng sok bijak, dan lain-lain topeng yang menutupi kepribadian dan perilaku kita yang sebenarnya. Dan yang lebih menampar lagi adalah kalimat yang menyatakan bahwa seringkali kita memakai topeng tersebut untuk mendapatkan PENGAKUAN, PENGHARGAAN dan PUJIAN dari orang lain, agar terlihat sempurna di mata orang lain.
Saya jadi resah dan merenung. Entah sudah berapa banyak nasehat-nasehat kebaikan yang saya lontarkan pada orang lain yang membuat mereka merasa tersentuh, tapi saya sendiri sebenarnya belum sepenuhnya mampu melaksanakan nasehat yang saya ucapkan tersebut. Kalau begitu saya tak ada bedanya dengan calo angkot, hanya bisa mengajak orang menaiki angkot, tapi dianya sendiri belum tentu ikut. Dengan kata lain saya menyerukan kebaikan tapi saya sendiri belum melaksanakannya.
Saya juga merenungkan apakah selama ini saya memberikan petuah pada orang lain hanya karena ingin dihargai? Ingin diakui? Ingin disebut hebat? Saya merasa miris karena tidak bisa menutupi adanya bagian diri saya yang menjawab , "YA". Karena saya tak ingin terlihat lemah, saya ingin terkesan bijak dan ingin menjadi problem solver bagi orang lain.
Tetapi hal tersebut berakibat fatal karena menjadikan saya memakai topeng tanpa saya sadari. Karena di satu komunitas saya bisa menjadi pribadi yang positif yang dikagumi orang. Tetapi sebaliknya, di komunitas yang lain saya bisa menjadi orang yang sangat negatif yang sering mengeluh, sehingga tidak menyenangkan bagi orang-orang di komunitas tersebut. Dan itu berarti selama ini nasehat-nasehat kebaikan yang saya sampaikan pada orang lain hanyalah OMDO alias omong doang.
Untuk itu saya harus minta ampun pada Yang Maha Kuasa jika terbersit niat tidak baik di balik hal-hal yang saya sampaikan pada orang lain. Saya juga harus minta maaf pada diri sendiri atas ketidakjujuran dan keengganan untuk mengakui bahwa di balik ucapan-ucapan kebaikan yang saya sampaikan, sebenarnya ada pemberontakan di dalam hati karena merasa membohongi diri dengan mengatakan hal-hal yang saya pun belum mampu melaksanakannya.
Tetapi kemudian saya sampai pada satu perenungan yang mengatakan bahwa, jika dalam konteks "Ingin dihargai, ingin diakui, dan ingin dipuji", maka kebaikan yang kita sampaikan tak lebih dari teriakan yang bersembunyi di balik topeng kemunafikan.
Tetapi dalam konteks dakwah, menyampaikan kebaikan walaupun hanya satu ayat adalah kewajiban. Dan orang yang menyampaikannya tak perlu sempurna. Bahkan penjahat sekalipun bisa mengucapkan kata-kata bijak yang menyentuh perasaan. Lalu jika nasehat bijak tersebut datang dari seorang penjahat, apakah kita lantas harus menolak mentah-mentah dan tidak mau melaksanakannya hanya karena melihat siapa yang menyampaikannya? Padahal nasehat tersebut jelas-jelas terasa meresap di hati kita? Apakah kita akan bertindak tidak jujur pada diri sendiri dengan menepis nasehat yang baik itu? Pepatah mengatakan yang penting bukanlah "Siapa yang bicara, tapi apa yang dia bicarakan". Pencerahan bisa datang dari siapa saja, karena ketika apa yang disampaikan seseorang adalah kebaikan, itu artinya Tuhan menyampaikan Firman-Nya melalui perantara lidah dan lisan orang tersebut, tak peduli siapapun orangnya.
Mungkin kita sering menasehati orang lain untuk ikhlas, tapi sebenarnya kita juga belum mampu untuk ikhlas. Mungkin kita sering menghibur orang agar jangan bersedih, padahal kita juga sedang bersedih. Tapi pepatah bijak mengatakan, "Helping others will make you feel better." "If you want to cheers you up, cheers someone else up." Memberi semangat pada orang lain seringkali menimbulkan perasaan lega pada diri kita sendiri. So, jika nasehat kita bisa membuat orang lain merasa lebih baik walaupun keadaan kita tidak lebih baik dari orang yang kita nasehati, why not? Bukankah kita juga akan merasakan kebahagiaan ketika melihat orang yang kita bantu terlihat bahagia? Walaupun kebahagiaan itu hanya sekelumit dan sekejap, tapi kita harus jujur bahwa kita merasakan kebahagiaan itu.
Kita manusia adalah mahluk sosial. Kita saling membutuhkan. Satu saat kita bisa menjadi penasehat untuk orang lain, tapi di saat yang lain kita juga membutuhkan nasehat orang lain. Belum mampu melakukan kebaikan yang kita ucapkan bukan berarti kita diharamkan untuk mengucapkannya. Karena jika nasehat kita itu bermanfaat bagi orang lain, maka Tuhan pun akan mencatatnya sebagai kebaikan.
Yang penting kita memiliki kesadaran penuh untuk mengucapkannya dengan rasa rendah hati, jujur pada diri sendiri dan mengakui bahwa kita pun belum mampu melaksanakannya, tapi punya niat untuk menjalankannya, dan berusaha untuk menjalankannya. Yang penting adalah konsistensi usaha kita untuk memperbaiki diri. Kita bisa menasehati orang, maka kita pun harus berusaha untuk bisa menjalankan nasehat tersebut, karena nasehat yang kita ucapkan pada intinya adalah nasehat untuk diri sendiri. So, ketidaksempurnaan kita bukan berarti kita harus berhenti menyerukan kebaikan. Yang penting kita harus memiliki kesadaran penuh bahwa kita tidak bicara di balik topeng untuk mendapatkan penghargaan, pengakuan dan pujian dari orang lain. Dan yang lebih penting lagi, Kita tidak harus hebat untuk memulai, tapi kita harus memulai untuk jadi hebat.
Orang yang sukses adalah orang yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan terus berusaha agar semakin hari semakin baik, semakin memiliki sifat yang lebih baik, dan kehidupan yang lebih baik. Saya sangat yakin bahwa Tuhan tidak melihat hasil akhir, tapi Dia melihat seberapa besar usaha kita untuk mencapai kebaikan sesuai dengan yang di-Firmankan-Nya.
Just my 2 cents :)
0 Responses
Post a Comment
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
