Horang Kayah

Ketika ditanya, “Jika anda mati, anda ingin dikenang sebagai apa?”, tentunya hal yang wajar jika kita berkeinginan untuk dikenang sebagai orang baik, yang memberikan manfaat bagi orang banyak. Tapi ketika banyak orang mengenal kita sebagai orang baik, bukan tidak mungkin sebaliknya banyak pula orang yang mencela kita karena perbuatan-perbuatan buruk yang pernah kita lakukan di masa lalu, baik perbuatan buruk yang disengaja, ataupun yang tidak disengaja sehingga menimbulkan salah persepsi. Hal ini sempat mengganggu pikiran saya selama beberapa saat.

Terutama hari ini, ketika saya menerima email dari beberapa kawan milis yang mengatakan bahwa mereka senang dengan tulisan saya, mereka bilang tulisan saya sangat menginspirasi, bahkan beberapa dari mereka ada yang mengontak via japri untuk meminta nasehat. Di satu sisi saya senang jika tulisan saya bermanfaat bagi mereka, dan saya senang jika bisa membantu mereka, minimal meringankan beban mereka dengan berbagi pengetahuan dan sumber-sumber yang saya miliki.

Tapi di sisi lain terjadi konflik batin, karena mereka tidak tahu seperti apa saya sebenarnya, apa yang pernah saya lakukan, dan apa penilaian orang lain tentang saya. Saya jelas bukan nabi, bukan ulama, bukan pula orang bijak. Saya hanya manusia biasa yang sering salah, khilaf, dan tentu saja pernah menyakiti orang lain. Saya bukan orang dengan riwayat hidup dan kehidupan yang sempurna. Di suatu kelompok, bisa saja saya dikenal sebagai orang baik, tapi di komunitas lain, tidak mustahil saya dinilai tidak menyenangkan.

Disaat merenungkan hal tersebut, secara kebetulan saya menemukan sebuah blog, dimana sang pemilik blog membuat tulisan tentang seorang Ustadz terkenal yang menjadi panutannya. Tapi tak disangka, ada beberapa komentar yang justru malah menyudutkan si Ustadz tersebut dengan mengungkit-ngungkit masa lalunya. Sepertinya mereka orang-orang yang merasa terdzalimi oleh Ustadz tersebut. Dari situ saya merenung, orang hebat seperti Ustadz ini saja masih ada yang membencinya padahal dia jelas sudah berubah dan memperbaiki hidupnya dengan melakukan syiar agama. Terlepas dari masih ada orang yang mencela dirinya, saya melihat Sang Ustadz ini berani mengakui dan mengungkapkan penyesalannya atas kesalahan yang dia lakukan di masa lalu, seperti yang dia ungkapkan melalui buku-bukunya. Mengetahui masa lalu Sang Ustadz, saya pun merasa melihat persamaan. Beberapa kesalahan sang Ustadz saya pun pernah melakukannya di masa lalu. Bahkan mungkin saya pernah melakukan dosa yang lebih besar yang tak pernah dilakukan Sang Ustadz. Tapi dosa di masa lalu tidak lantas melarutkan Sang Ustadz dalam penyesalan berkepanjangan, justru beliau menghadapinya dengan terus berupaya memperbaiki diri dengan harapan bisa menghapus dosa-dosanya yang telah lalu.

Bercermin dari kehidupan Sang Ustadz, saya pun merasa mendapat pencerahan. Ya, saya tak perlu menjadi Ustadz, tapi saya bisa dan harus menyerukan kebenaran, memberi saran pada orang yang membutuhkan, dan menginspirasi banyak orang tanpa saya harus menjadi sempurna. Terlepas dari dosa apa yang pernah saya lakukan, masa lalu seperti apa yang saya miliki, dan berapa banyak orang yang merasa terdzalimi hingga kini, bukan berarti saya lantas harus berhenti dan terus menerus menyesali diri. Tak ada manusia yang sempurna, semua orang bisa berdosa, semua orang tetap bisa melakukan kekhilafan meski dia orang bijak sekalipun. Seandainya masih ada orang yang merasa terdzalimi atau sakit hati karena saya, maka saya hanya bisa berharap semoga Tuhan membukakan pintu hati mereka untuk setitik maaf. Dan saya doakan pula semoga kehidupan mereka selalui dikaruniai kebaikan, kemudahan, dan kebahagiaan. Amin.

Sementara itu, tanpa harus menjadi sosok yang sempurna, saya tak boleh berhenti menyerukan kebenaran, yang pada intinya adalah menyeru pada diri sendiri agar terus memperbaiki diri dan memberi sebanyak-banyak manfaat bagi orang lain. Semoga Tuhan memberikan bimbingan dan ridho-Nya.

0 Responses